Pengacara dalam kasus Pidana harus paham hal-hal sebagai berikut:

1. Penyidik tidak memberitahukan hak tersangka untuk didampingi Advokat/Penasihat Hukum.
Hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum, dan kewajiban penyidik untuk memberitahukan hak tersebut serta menyediakan pengacara untuk mendampingi tersangka. Namun prakteknya tak jarang penyidik mengabaikan hak tersangka tersebut.
Alhasil tersangka diperiksa tanpa didampingi pengacara. Atau bisa juga, secara formil tersangka telah mendatangani kuasa untuk pengacara yang disiapkan penyidik tapi saat pemeriksaan si oknum pengacara tidak mendampingi tersangka (pengacara formalitas).
2. Pemanggilan tidak memperhatikan tenggang waktu.
Adalah kewajiban setiap warga negara untuk memenuhi panggilan penegak hukum. Namun penegak hukum juga punya kewajiban untuk memanggil dalam jangka waktu yang wajar.
Menurut KUHAP pemanggilan yang wajar itu adalah 3 hari sebelum hari pemeriksaan. Prakteknya, surat panggilan diterima oleh saksi atau tersangka sehari dua hari atau bahkan sehari sebelum pemeriksaan.
3. Kewenangan penyidik dalam proses penahanan, jangka waktu penahanan di tingkat penyidikan diterapkan maksimal padahal tersangka hanya diperiksa beberapa kali.
Salah satu kewenangan penyidik adalah melakukan penahanan terhadap tersangka. Merujuk kepada kuhap sebenarnya tujuan penahanan  adalah untuk mempermudah proses pemeriksaan.
Praktenya, perkara sudah selesai diperiksa dalam tingkat penyidikan tapi tersangka masih tetap ditahan, dengan alasan subjektifikas penyidik yaitu khawatir tersangka menghilangkan barang bukti, melarikan diri, atau mengulangi tindak pidana.
Alasan subjektif ini sebenarnya sangat tidak adil secara hukum sebab urgensi penahanan sudah tidak ada lagi. Seharusnya ukuran seseorang ditahan itu didasarkan pada ukuran objektif yang jelas bukan berdasarkan subjektifitas penyidik. Penilaian subjektifitas ini jika dikaitkan dengan kewenangan penyidik yang begitu besar tentu rentan disalahgunakan.
4. Lembaga jaminan penangguhan tidak berfungsi.
Dalam praktek juga, penangguhan penahanan tidak terlihat fungsinya. Karena pada akhirnya keputusan penangguhan itu dikabulkan atau tidak diserahakan kepada kewenangan (subjektifitas) penyidik.
5. Hak tersangka mengajukan saksi a de charge.
Pemohonan tersangka untuk menghadirksan saksi yang meringankan (a de charge) di tingkat penyidikan tak jarang mendapat penolakan dari penyidik. Alasannya saksi a de chargedihadirkan nanti saja saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal berdasarkan KUHAP, seharusnya bila tersangka mengajukan saksi a de charge maka penyidik wajib memanggil saksi a de charge untuk diperiksa.
6. Pemeriksaan saksi dilarang didampingi Advokat/Penasihat Hukum.
Meski di dalam KUHAP tidak diatur saksi wajib didampingi penasihat hukum, tapi itu tidak berarti penyidik dapat mengabaikan hak saksi untuk didampingi pengacara. Memberikan kuasa kepada seseorang merupakan hak asasi dan hak keperdataan setiap orang.
Lagipula di dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia tegas menyatakan bahwa “setiap petugas yang melakukan tindakan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa wajib: a. memberikan kesempatan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa untuk menghubungi dan didampingi pengacara sebelum pemeriksaan dimulai.
7. Pemaksaan penarikan kuasa penasihat hukum.
Penyidik memaksa agar tersangka membatalkan (menarik kembali) kuasa yang telah diberikan tersangka kepada penasihat hukum, sekalipun penasihat hukum sudah menjalankan tugasnya dengan baik.
8. BAP menjadi berita acara wawancara atau berita acara klarifikasi dan berita acara permintaan keterangan.
Berita acara wawancara/klarifikasi atau permintaan keterangan tidak dikenal di dalam KUHAP. Yang dikenal adalah Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Jo 75 KUHAP. Dasar seseorang dipanggil adalah surat pemanggilan yang mana dalam surat panggilan juga termuat “pro justitia” yang didasarkan pada surat perintah penyidikan (pro justitia). Tapi setelah saksi/tersangka datang untuk diperiksa, produk yang lahir dari pemeriksaan yang pro justitia tersebut adalah berita acara wawancara/klarifikasi yang tidak tercantum “pro justitia”.
Artinya berita acara wawancara tersebut sudah bertentangan dengan maksud dari surat perintah penyidikan juga pemanggilan yang memerintahkan suatu penyelidikan pro-justitia, bukan wawancara/klarifikasi/permintaan keterangan. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dimana sebenarnya posisi berita acara wawancara atau berita acara klarifikasi dan berita acara permintaan keterangan tersebut di dalam hukum acara.
9. Berkas Perkara tidak diberikan kepada tersangka/terdakwa ataupun penasihat hukumnya.
Dalam praktek tak jarang, berkas perkara tidak diberikan kepada tersangka/terdakwa atau penasihat hukumnya. Padahal berkas perkara merupakan hak tersangka/terdakwa yang sudah diatur dalam KUHAP untuk materi mempersiapkan pembelaan diri.
Bahkan sebenarnya, tanpa diminta pun seharusnya pejabat yang bersangkutan harus memberikan berkas perkara kepada terdakwa bersamaan dengan saat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan (lihat Pasal 72 serta Penjelasannya dan Pasal 143 ayat (4) KUHAP serta Penjelasannya)[1]. Tapi prakteknya, sudah dimintapun tetap saja masih tidak mau diberikan.
Dengan mengetahui masalah-masalah yang sering terjadi ini, diharapkan para Advokat dalam melakukan pembelaan terhadap pencari keadilan tidak lagi terjebak dengan kondisi-kondisi seperti ini.

0 Response to "Pengacara dalam kasus Pidana harus paham hal-hal sebagai berikut:"

Posting Komentar