Masalah Kepailitan

Salah satu harmonisasi integrasi hukum yang sangat penting adalah terkait kemudahan berusaha (ease of doing business). Di antara beragam kebijakan terkait kemudahan berusaha, satu diantaranya adalah mengenai penyelesaian kepailitan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 131 tanggal 18 Oktober 2004.
Sebagaimana diatur di dalam UUK-PKPU, hukum kepailitan Indonesia berdasarkan pada asas yang adil, cepat, terbuka, dan efektif. Namun ironisnya, di dalam implementasinya, justru UU ini dianggap rentan terhadap penyalahgunaan. Ada beberapa kasus dimana perusahaan yang sehat dan mempunyai kemampuan untuk membayar dan menyelesaikan utang-utangnya, bahkan mempunyai aset atau kekayaan yang jauh melampaui jumlah utang-utangnya (masih solvent) menjadi pailit atau dipailitkan dikarenakan terdapat beberapa norma yang multi tafsir dan tidak sesuai dengan standar kepailitan yang berlaku secara internasional.
Hal ini terutama disebabkan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU. Pasal 2 ayat (1) merupakan salah satu kelemahan yang paling mendasar dari UUKPKPU adalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang mensyaratkan pengajuan kepailitan hanya dengan dua Kreditur dan satu utang yang telah jatuh tempo serta tidak adanya pengaturan batas minimum jumlah utang. Pernyataan ini diperkuat dengan Putusan MK dalam uji materil UU KPKPU dalam Putusan Nomor 071/PUU-II/2004 dan Nomor 001-002/PUU-III/2005 yang menyatakan longgarnya syarat mengajukan permohonan pailit merupakan kelalaian pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1), dengan tidak adanya persyaratan “tidak mampu membayar”, maka Kreditur dapat dengan mudah mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa harus membuktikan bahwa perusahaan dalam keadaan tidak mampu atau insolven (insolvent).
Hal ini secara nyata sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena ketentuan kepailitan dapat diajukan jika memiliki dua kreditur dengan satu utang jatuh tempo. Bahkan tidak ada batas minimum utang yang dapat diajukan permohonan kepailitan. Frase tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo adalah ketentuan yang sangat longgar.
Di masa depan diharapkan ketentuan Kepailitan menjadi lebih diperketat dengan diitentukannya batas minimum utang. Ada beberapa contoh kasus yang kontroversial dan menuai perhatian publik secara luas. Kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kasus PT. Prudential Life Insurance, yang diputus dengan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 13/Pailit/2004/PN Niaga Jkt. Pst dan Putusan Nomor 25/Pailit/2004/PN Niaga Jkt. Pst. (Nyonya Ng Sok Hia al v. PT. Prudential Life Insurance)
  2. Kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Manulife), yang diputus dengan Putusan Nomor 10/Pailit/2002/PN Niaga Jkt. Pst (Paul Sukran, S.H PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia).
  3. Kasus PT. Telekomunikasi Seluler Indonesia (Telkomsel), yang diputus dengan Putusan Nomor 48/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST
Putusan-putusan di atas melahirkan preseden buruk bagi hukum kepailitan di Indonesia dan berdampak pada rendah bahkan hilangnya kepercayaan investor asing kepada lembaga peradilan di Indonesia, seolah-olah tidak ada kepastian hukum di bidang kepailitan. Ketiga kasus kontroversional di atas akhirnya dibatalkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, namun kasus-kasus tersebut masih lekat dalam ingatan publik bahwa demikian mudahnya memailitkan perusahaan sehat dan masih solvent.

0 Response to "Masalah Kepailitan"

Posting Komentar