Toleransi beragama


kebetulan saat ini momentumnya agak pas. Baru-baru  seorang ustad bernama Somad menggetarkan dunia maya dengan kutipan video ceramah kontoversial yang beredar di dunia maya tentang salib yang menurutnya didiami oleh jin kafir. Ustad jutaan pengikut si sosial media tersebut mendadak menjadi target kritik dan bully, atau bisa berpotensi menjadi target kriminalisasi dengan pasal-pasal terkait penghinaan agama dalam hitungan beberapa hari kedepan. Pihak yang bereaksi tentu orang-orang yang merasa dirugikan.
Saya berpendapat, bahwa ajaran agama tidak pernah berubah dari dulu. Tuhan, dewa atau apapun sebutannya, beserta para nabinya juga masih relatif sama. Lalu yang berubah apanya?. Tentu manusia karena hanya manusialah subjeknya yang mampu melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap ajaran tersebut. Saya juga berpendapat bahwa bahwa virus fanatisme bukan kasus yang terisolasi. Kita bisa temukan di hampir semua agama dan kepercayaan. Polanya juga hampir sama dengan ideologi atau pandangan-pandangan dominan yang bercorak rasisme. Di hampir seluruh belahan dunia ini, satu hal yang membuat fanatisme menjadi berdaya rusak lebih besar adalah ketika berada di posisi mayoritas. Pemikiran seperti ini menghindarkan saya dari jebakan berpikir reaktif dan sektarian. Sehingga saya tidak akan ikut-ikutan mencela individunya.
Esensi awal adanya agama sebenarnya sederhana, yakni untuk mendapatkan pengetahuan dan kebajikan yang bisa menjawab tantangan alam dan kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain,  orang belajar agama dengan tujuan untuk bisa mempelajari ilmu-ilmu lainnya misalnya ilmu pengobatan. Saya rasa sejarah telah mencatat pencapaian-pencapaian itu dengan baik.

0 Response to " "

Posting Komentar