KESEPAKATAN CERAI ANTARA SUAMI ISTRI, BUKAN MERUPAKAN ALASAN PERCERAIAN BERDASARKAN UU PERKAWINAN dan KHI

 Sepakat Cerai, Tidak Otomatis Sah Perceraian! UU Perkawinan Tak Akui Adanya Kesepakatan Cerai




Sering sekali seorang suami atau istri yang hendak bercerai dan kemudian berkonsultasi dengan kami para Pengacara dari kantor hukum JP & Partner, menganggap jikalau ada kesepakatan bercerai suami istri lantas otomatis hakim akan mengabulkan gugatan nya. Tentu pandangan seperti ini sangat keliru.

 Pada umumnya, semua orang menginginkan pernikahan sekali seumur hidup Sampai ajal memisahkan, itu kira-kira salah satu doa, ikrar dan harapan setiap orang yang baru saja melangsungkan perkawinan. Namun, dalam perjalanan membina rumah tangga tak ayal masalah datang menghampiri secara bertubi-tubi. Rumah tangga yang semula dibangun sangat harmonis perlahan mulai retak dan diambang keruntuhan.


Bila mulai tak harmonis lagi, pertengkaran demi pertengkaran tak dapat dihindari pasangan suami istri (pasutri), meski alasannya sepele. Ya..., dengan alasan itu dan ini, mau tak mau perceraian menjadi solusi terakhir dan dianggap paling baik untuk dipilih.


Tak jarang keputusan untuk cerai muncul bukan dari satu pihak saja, dimana keinginan untuk bercerai datang dari kedua belah pihak. Pihak suami istri sudah sepakat untuk bercerai, dan biasanya keinginannya tersebut ada yang dituangkan dalam surat kesepakatan (baik otentik maupun bawah tangan) yang ditandatangani masing-masing pihak. Atau sepakat cerai ini juga disampaikan secara terbuka & langsung dihadapan Majelis Hakim.


Apakah benar model perceraian tersebut? Dan apakah sepakat cerai sah menurut hukum untuk bercerai?


Penting diketahui, dalam pemeriksaan perkara perceraian di pengadilan, ketika suami istri ataupun pengacara selaku kuasa hukumnya datang pada sidang pertama, maka Hakim akan memerintahkan kedua pihak untuk menempuh proses mediasi yang dipimpin seorang Hakim mediator, setelah terlebih dahulu coba dirukunkan oleh Majelis Hakim di ruang sidang.


Adanya proses mediasi dalam perkara perceraian ini adalah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 (PERMA No. 1/2016) yang berlaku untuk lingkup Pengadilan Agama (PA) dan lingkup Pengadilan Negeri (PN). Dalam poin (5), menyebutkan:

"Khusus untuk gugatan perceraian, Hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut."


Terkadang kedua belah pihak bersikukuh tidak bersedia untuk mengikuti proses mediasi, karena keduanya telah menyatakan sepakat untuk bercerai. Suami istri tersebut berkeinginan agar perkaranya segera diputus tanpa harus melakukan proses mediasi lagi.


Secara teori dan praktek, kesepakatan untuk bercerai tak dibenarkan secara hukum. Dan, Hakim yang memeriksa dan mengadili kasus perceraian ini tidak bisa serta merta langsung memutus perkara berdasarkan atas adanya bukti atau keterangan tentang adanya kesepakatan suami istri untuk bercerai.


Ingat, hukum perkawinan di Indonesia pada prinsipnya menganut asas mempersulit perceraian. Artinya, masyarakat atau para pencari keadilan yang hendak bercerai hanya dimungkinkan jika perceraian itu dilakukan di depan pengadilan, dan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang sah & dibenarkan oleh UU.


Adanya asas mempersulit perceraian ini dapat dilihat dan diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 juncto Pasal 16 & Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tak sebatas itu, juga terkait dengan perkawinan harus dimaknai merupakan ikatan yang amat kuat yang sulit untuk dilepaskan.


Selain dasar hukum di atas, Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 454 K/Pdt/1991 tanggal 29 Januari 1993, menjelaskan:

"bahwa putusan akta perdamaian mengenai perceraian adalah bertentangan dengan PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut PP tersebut, perceraian harus berdasarkan putusan pengadilan melalui proses pemeriksaan biasa, dan tidak boleh disepakati berdasarkan proses perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR."


Nah, dari pasal-pasal dan yurisprudensi tersebut, dapat dipahami dan diambil kesimpulan bahwa perceraian tidak bisa dan serta merta terjadi dengan adanya kesepakatan cerai semata dari kedua belah pihak. Jadi, harus ada cukup alasan kuat yang dapat dibuktikan kebenarannya di depan sidang pengadilan agar perceraian dapat dikabulkan dan sah secara hukum dengan segala akibat hukumnya.


Saya selaku Advokat / Pengacara yang beberapa kali menangani kasus perceraian mencermati bahwa perceraian dapat dikabulkan oleh Hakim jika fakta hukum yang terungkap di depan persidangan telah menunjukkan bahwa rumah tangga sudah pecah (broken marriage) dan tak dapat dipertahankan lagi.


Adapun indikator broken marriage adalah sebagai berikut:


*) Sudah pernah ada upaya damai tetapi tidak berhasil;

*) Sudah tidak ada komunikasi yang baik antara pasangan suami istri;

*) Salah satu pihak atau masing-masing pihak telah meninggalkan kewajibannya sebagai suami istri;

*) Telah terjadi pisah ranjang / tempat tinggal bersama;

*) Ada fakta lain yang ditemukan dalam persidangan, seperti: adanya WIL / PIL, KDRT, narkoba, pemain judi, pemabuk, dlsb.


Konsep penyelesaian perceraian dalam hukum perkawinan yang diterapkan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri harus dipahami oleh suami istri, masyarakat / pencari keadilan bukan sekedar masalah administrasi semata.


Mengapa? Karena perceraian itu akan mengakhiri lembaga perkawinan yang bersifat sangat sakral dalam agama & adat istiadat, mengubah status hukum dari halal menjadi haram, menimbulkan kewajiban hukum, dan akan berdampak luas bagi struktur masyarakat hingga menyangkut masalah mengenai pertanggungjawaban dunia akhirat.


Kesimpulannya, ingat bahwa perceraian tidak bisa serta merta dikabulkan oleh pengadilan, semata-mata atas dasar adanya kesepakatan (baik lisan atau tulisan) dari pasangan suami istri untuk bercerai.


Semoga bermanfaat & terimakasih.


Salam,

J. Panggabean, SH, MH

Advokat/Pengacara di Kota Medan

WA: 082167423030


0 Response to "KESEPAKATAN CERAI ANTARA SUAMI ISTRI, BUKAN MERUPAKAN ALASAN PERCERAIAN BERDASARKAN UU PERKAWINAN dan KHI"

Posting Komentar